Hidup terlalu singkat jika hanya menyesal. Hidup hanya sekali, Namun jika digunakan dengan baik, sekali saja sudah cukup.

Monday, 15 September 2014

"Moralitas Dalam Perspektif Relativisme Kultural, Subjektivisme Etis, dan Etika Agama"

09:08 Posted by dhiny dewantara
“Relativisme Kultural”
Teori relativisme kultural berpendapat bahwa Kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda. Setiap kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang benar dari masyarakat tersebut. hal ini membuat tidak adanya kebenaran universal dalam etika, dan sekaligus membuat tidak adanya kebenaran moral yang berlaku untuk semua zaman. Kebenaran sebuah perilaku akan dinilai secara subjektif, berkaitan dengan kebudayaan tertentu. Misalnya, bahwa orang Callatia (salah satu suku bangsa india) biasanya memakan jenazah orang tuanya ketika meninggal. Sedangkan orang yunani tidak melakukan hal tersebut, mereka membakar jenazah orang tua yang meninggal dan menganggap api pembakaran itu sebagai cara alami dan yang cocok untuk istirahat mereka. Tentu hal ini akan menggambarkan bahwa apa yang dianggap benar oleh satu kelompok mungkin justru dianggap kurang tepat bagi anggota dari kelompok lain, dan sebaliknya. Dari sinilah kemudian relativisme kultural menganggap bahwa gagasan mengenai kebenaran universal hanyalah mitos dan adat istiadat dari berbagai masyarakat yang berbeda adalah sebuah kenyataan.

Namun apa yang menjadi dasar pemikiran oleh teori relativisme kultural tidaklah menjadi sebuah kebenaran yang mutlak. Karena teori ini akan masih menimbulkan persinggungan dan pertanyaan sebagai bentuk pemikiran yang logis. Hal ini kemudian memunculkan berbagai kritikan terhadap teori ini. Diantaranya, kritik yang menganggap bahwa sebuah kekeliruan mendasar dalam argumentasi perbedaan kultural adalah argumentasi itu mencoba menarik kesimpulan substantif mengenai suatu pokok (moralitas) dari sekedar fakta bahwa orang tidak mempunyai pandangan yang sama mengenai hal tersebut. misalnya sebagain dari kita pernah menganggap bahwa bumi itu datar, sedangkan beberapa yang lainnya percaya bahwa bumi (secara kasar) membentuk bola. Dari fakta bahwa mereka berbeda pandangan , tidak lantas kemudian membuat ‘kebenaran objektif’ dalam ilmu bumi menjadi tidak ada. Karena seharusnya ada standar objektif yang dapat digunakan untuk menilai sesuatu kode masyarakat secara lebih baik dari yang lain.

“Subjektivisme Etis”
Teori subjektivisme etik dimulai dari sebuah gagasan sederhana dalam kata-kata David Hume, bahwa moralitas itu merupakan soal perasaan saja, bukan fakta. Teori ini dimulai dari munculnya teori Subjektivisme sederhana. Teori ini menyatakan kalau seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara moral, itu berarti bahwa ia menyetujui hal itu, dan tak lebih dari ini. namun masih banyak keberatan terhadap teori ini, diantaranya karena subjektivisme sederhana tidak dapat menerangkan falibilitas, dimana tak seorang pun dari kita yang tidak dapat salah (infallible). Kedua subjektivisme sederhana tidak dapat menjelaskan perbantahan (fakta bahwa ada ketidaksepahaman dalam etika).

Karena subjektivisme sederhana dianggap masih dirasa belum cukup kuat sebagai teori maka muncullah teori yang jauh lebih halus dan canggih, yaitu teori Emotivisme. Teori ini dikembangkan oleh filsuf Amerika Charles L. Stevenson (1908-1979). Emotivisme mulai pengamatan bahwa bahasa digunakan dengan cara yang beranekaragam. Salah satunya adalah untuk menyatakan fakta atau paling tidak menyatakan apa yang kita yakini sebagai fakta. Namun menurut emotivisme bahasa moral bukanlah bahasa yang menyatakan fakta, melainkan digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi perilaku orang. Emotivisme sebagai teori yang muncul dari ketidak puasan terhadap teori subjektivisme sederhana memunculkan perbedaan yang mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu adalah, apabila subjektivisme sederhana mengimplikasikan bahwa orang menjadi tidak dapat salah, maka dalam emotivisme sebaliknya, tidak mengartikan putusan-putusan moral sebagai peryataan yang benar-atau-salah dan karenanya argumen yang sama tidak berdaya melawannya. Kedua teori subjektivisme tidak dapat menjelaskan perbantahan, sebaliknya emotivisme menekankan bahwa ada lebih dari satu cara bagaimana orang berselisih. Namun sekali lagi bukan berarti teori ini lepas dari kekurangan dan kritik. Diantara kritik terhadap emotivisme adalah emotivisme tidak dapat meletakkan tempat akal budi dalam etika dan terlalu memusatkan perhatian pada sikap-sikap dan perasaan. 

“Etika Agama”
Pembahasan tentang etika agama berangkat dari peran agama sebagai panduan dalam menentukan benar-atau-salahnya sebuah perilaku. Dalam paham ini tuhan dilukiskan sebagai pemberi hukum, yang telah menetapkan hukum yang harus ditaati. Kita sebagai manusia diciptakan sebagai pelaku yang bebas untuk menerima atau menolak perintah-perintah tuhan. Namun jikalau kita mau hidup sebagaimana mestinya maka kita harus menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi beberapa teolog dalam mencetuskan sebuah teori mengenai hakikat kebenaran dan kekeliruan yang kemudian dikenal dengan ‘Teori Perintah Allah’. Secara hakiki teori ini mengatakan bahwa benar secara moral berarti diperintahkan oleh Allah dan salah secara moral berarti dilarang oleh Allah. Disamping teori perintah Allah ada teori lain yang terkait dengan etika agama yaitu ‘Teori Hukum Kodrat’. Menurut pandangan ini, dunia merupakan tatanan yang rasional dengan nilai dan tujuan yang terekam dalam kodrat dunia itu sendiri. Pikiran dasar dari teori ini adalah segala sesuatu dalam alam mempunyai tujuan. 

Kedua teori diatas memang telah berusaha menjawab bagaimana menentukan benar-atau-salah berdasarkan perspektif agama. Namun sekali lagi bukan berarti kemudian menjadi akhir dari segalanya, karena teori ini pun masih tidak bisa lepas dari yang namanya kritik. Diantaranya adalah benar atau salah tidak dirumuskan dalam kerangka pemikiran menyangkut kehendak Allah. Moralitas itu menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman keagamaan. Disamping itu keagamaan tidak menjamin pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang khusus. Namun bukan berarti kemudian ini mengartikan sistem teologi keliru, melainkan hanya memperlihatkan bahwa moralitas adalah suatu masalah yang berdiri sendiri. 

 Sumber: Buku Filsafat Moral karangan James Rachels.
0 Comments
0 Comments
Comments