“Relativisme Kultural”
Teori
relativisme kultural berpendapat bahwa Kebudayaan yang berbeda mempunyai kode
moral yang berbeda. Setiap kode moral dari suatu masyarakat menentukan apa yang
benar dari masyarakat tersebut. hal ini membuat tidak adanya kebenaran
universal dalam etika, dan sekaligus membuat tidak adanya kebenaran moral yang
berlaku untuk semua zaman. Kebenaran sebuah perilaku akan dinilai secara
subjektif, berkaitan dengan kebudayaan tertentu. Misalnya, bahwa orang Callatia
(salah satu suku bangsa india) biasanya memakan jenazah orang tuanya ketika
meninggal. Sedangkan orang yunani tidak melakukan hal tersebut, mereka membakar
jenazah orang tua yang meninggal dan menganggap api pembakaran itu sebagai cara
alami dan yang cocok untuk istirahat mereka. Tentu hal ini akan menggambarkan
bahwa apa yang dianggap benar oleh satu kelompok mungkin justru dianggap kurang
tepat bagi anggota dari kelompok lain, dan sebaliknya. Dari sinilah kemudian
relativisme kultural menganggap bahwa gagasan mengenai kebenaran universal
hanyalah mitos dan adat istiadat dari berbagai masyarakat yang berbeda adalah
sebuah kenyataan.
Namun
apa yang menjadi dasar pemikiran oleh teori relativisme kultural tidaklah
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak. Karena teori ini akan masih menimbulkan
persinggungan dan pertanyaan sebagai bentuk pemikiran yang logis. Hal ini
kemudian memunculkan berbagai kritikan terhadap teori ini. Diantaranya, kritik
yang menganggap bahwa sebuah kekeliruan mendasar dalam argumentasi perbedaan
kultural adalah argumentasi itu mencoba menarik kesimpulan substantif mengenai
suatu pokok (moralitas) dari sekedar fakta bahwa orang tidak mempunyai
pandangan yang sama mengenai hal tersebut. misalnya sebagain dari kita pernah
menganggap bahwa bumi itu datar, sedangkan beberapa yang lainnya percaya bahwa
bumi (secara kasar) membentuk bola. Dari fakta bahwa mereka berbeda pandangan ,
tidak lantas kemudian membuat ‘kebenaran objektif’ dalam ilmu bumi menjadi
tidak ada. Karena seharusnya ada standar objektif yang dapat digunakan untuk
menilai sesuatu kode masyarakat secara lebih baik dari yang lain.
“Subjektivisme Etis”
Teori
subjektivisme etik dimulai dari sebuah gagasan sederhana dalam kata-kata David
Hume, bahwa moralitas itu merupakan soal perasaan saja, bukan fakta. Teori ini
dimulai dari munculnya teori Subjektivisme sederhana. Teori ini menyatakan
kalau seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara moral, itu
berarti bahwa ia menyetujui hal itu, dan tak lebih dari ini. namun masih banyak
keberatan terhadap teori ini, diantaranya karena subjektivisme sederhana tidak
dapat menerangkan falibilitas, dimana
tak seorang pun dari kita yang tidak dapat salah (infallible). Kedua subjektivisme sederhana tidak dapat menjelaskan
perbantahan (fakta bahwa ada ketidaksepahaman dalam etika).
Karena
subjektivisme sederhana dianggap masih dirasa belum cukup kuat sebagai teori
maka muncullah teori yang jauh lebih halus dan canggih, yaitu teori Emotivisme.
Teori ini dikembangkan oleh filsuf Amerika Charles L. Stevenson (1908-1979). Emotivisme
mulai pengamatan bahwa bahasa digunakan dengan cara yang beranekaragam. Salah
satunya adalah untuk menyatakan fakta atau paling tidak menyatakan apa yang
kita yakini sebagai fakta. Namun menurut emotivisme bahasa moral bukanlah
bahasa yang menyatakan fakta, melainkan digunakan sebagai sarana untuk
mempengaruhi perilaku orang. Emotivisme sebagai teori yang muncul dari ketidak
puasan terhadap teori subjektivisme sederhana memunculkan perbedaan yang
mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu adalah, apabila subjektivisme
sederhana mengimplikasikan bahwa orang menjadi tidak dapat salah, maka dalam
emotivisme sebaliknya, tidak mengartikan putusan-putusan moral sebagai
peryataan yang benar-atau-salah dan karenanya argumen yang sama tidak berdaya
melawannya. Kedua teori subjektivisme tidak dapat menjelaskan perbantahan,
sebaliknya emotivisme menekankan bahwa ada lebih dari satu cara bagaimana orang
berselisih. Namun sekali lagi bukan berarti teori ini lepas dari kekurangan dan
kritik. Diantara kritik terhadap emotivisme adalah emotivisme tidak dapat
meletakkan tempat akal budi dalam etika dan terlalu memusatkan perhatian pada
sikap-sikap dan perasaan.
“Etika Agama”
Pembahasan
tentang etika agama berangkat dari peran agama sebagai panduan dalam menentukan
benar-atau-salahnya sebuah perilaku. Dalam paham ini tuhan dilukiskan sebagai
pemberi hukum, yang telah menetapkan hukum yang harus ditaati. Kita sebagai
manusia diciptakan sebagai pelaku yang bebas untuk menerima atau menolak
perintah-perintah tuhan. Namun jikalau kita mau hidup sebagaimana mestinya maka
kita harus menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Konsep ini
kemudian menjadi landasan bagi beberapa teolog dalam mencetuskan sebuah teori
mengenai hakikat kebenaran dan kekeliruan yang kemudian dikenal dengan ‘Teori
Perintah Allah’. Secara hakiki teori ini mengatakan bahwa benar secara moral
berarti diperintahkan oleh Allah dan salah secara moral berarti dilarang oleh
Allah. Disamping teori perintah Allah ada teori lain yang terkait dengan etika
agama yaitu ‘Teori Hukum Kodrat’. Menurut pandangan ini, dunia merupakan
tatanan yang rasional dengan nilai dan tujuan yang terekam dalam kodrat dunia
itu sendiri. Pikiran dasar dari teori ini adalah segala sesuatu dalam alam
mempunyai tujuan.
Kedua teori diatas
memang telah berusaha menjawab bagaimana menentukan benar-atau-salah
berdasarkan perspektif agama. Namun sekali lagi bukan berarti kemudian menjadi akhir
dari segalanya, karena teori ini pun masih tidak bisa lepas dari yang namanya
kritik. Diantaranya adalah benar atau salah tidak dirumuskan dalam kerangka
pemikiran menyangkut kehendak Allah. Moralitas itu menyangkut soal akal dan
kesadaran, bukan iman keagamaan. Disamping itu keagamaan tidak menjamin
pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang khusus. Namun bukan
berarti kemudian ini mengartikan sistem teologi keliru, melainkan hanya
memperlihatkan bahwa moralitas adalah suatu masalah yang berdiri sendiri.
Sumber: Buku Filsafat Moral karangan James Rachels.