Sabtu,
14 Juni 2014.
‘Malam
minggu malam yang panjang’, inilah sepenggal syair lagu dari djamal mirdad.
Sejalan dengan syair lagu tersebut malam minggu kali ini terasa panjang. Jam
dinding dikamar seolah berhenti untuk berdetak, waktu terasa berjalan begitu lambat.
Ya..karena pada malam ini memang tidak ada aktifitas berarti yang saya lakukan.
Saya mengisi malam ini dengan tiduran di kamar dan menonton acara telivisi. 30
menit pertama berjalan biasa-biasa saja, namun ketika sudah memasuki 30 menit
berikutnya rasa bosan mulai melanda. Dilanda kebosanan dengan tingkat stadium
4, akhirnya saya pun memutuskan untuk mencari kegiatan lain. Saya pun mencari
hiburan dengan menonton video stand up comedy di youtobe.
Saya
adalah salah satu penggemar acara stand up comedy. Menurut saya indonesia butuh
acara seperti ini, bukan hanya menghibur tapi juga cerdas. Dengan semakin
populernya stand up comedy maka mulailah bermunculan komika-komika di indonesia
dengan berbagai gayanya. Bahkan salah satu televisi swasta sampai-sampai
mengadakan sebuah program pencarian bakat untuk melahirkan komika hebat di
indonesia.
Dari
sejumlah komika yang ada di indonesia, salah satu komika favorit saya adalah
abdur (salah satu peserta suci 4). Menurut saya abdur adalah komika yang
menghibur, pintar, dan kritis. Disetiap materi yang disampaikan tidak hanya mengundang
tawa yang membahana tapi juga mengandung pesan moral dan kritik kondisi sosial
disekitarnya. Salah satu materinya yang menurut saya menarik adalah ketika ia
membahas tentang indonesia masuk piala dunia.
Dalam
materinya tersebut dia sempat menceritakan tentang pengalamannya ikut kegiatan
bakti sosial di desa ranu pani. Salah satu desa kecil yang berada di bawah kaki
gunung semeru. Dalam satu kesempatan dia bertanya kepada anak-anak disana ‘apa
cita-citamu?’. Anak-anak pun menjawab dengan berbagai jawaban, dari ingin
menjadi dokter, presiden, guru, dll. namun ada jawaban dari salah satu anak
yang membuatnya merinding dan meneteskan air mata. Ketika anak tersebut
ditanya, ‘apa cita-cita mu nak?’ dia pun menjawab ‘cita-cita saya tidak
muluk-muluk seperti teman-teman yang lain, saya hanya ingin menjadi seorang
petani seperti ayahku saja. Apa yang sudah dilakukan negeri ini sampai-sampai
anak kecil sepertinya tidak berani untuk bermimpi?. Menurut saya apabila negara
ini ingin maju maka bebaskanlah generasi-generasi kita untuk bermimpi, tegas
abdur.
Sejenak
saya terhenyak ketika mendengarnya, benar juga kataku dalam hati. Saya pun
yakin masih banyak anak-anak di negeri ini mengalami kondisi yang sama.
Anak-anak yang tidak berani untuk bermimpi dan berpasrah dengan keadaan.
Jangankan bermimpi, terkadang untuk menjadi apa kelak saja mereka tak tahu. Itu
semua karena kondisi keluarga yang terbatas secara ekonomi, sehingga kebanyakan
dari mereka beranggapan ‘untuk apa kita bemimpi tinggi kalau itu serasa tidak
mungkin untuk diwujudkan’. Menurutku anggapan seperti ini adalah anggapan yang
terlalu berlebihan.
Saya
jadi teringat sebuah moment di acara perpisahan kelulusan SD saya dulu. Pada
saat itu, ditengah-tengah acara saya ditanya oleh seorang guru ‘cita-cita mu
apa nak?’ saya pun menjawab bahwa saya ingin menjadi seorang guru seperti ayah.
Kebetulan ayahku adalah seorang guru di sekolah menengah pertama (SMP). Saya
menjawab seperti itu karena memang pandangan saya tentang dunia saat itu begitu
sempit. Sampai akhirnya saya seolah-olah ditampar dan dibukakan mata oleh pesan
dari seseorang dalam sambutannya dalam acara yang sama. Kebetulan beliau
mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan sepatah-duapatah kata sebagai
perwakilan dari wali murid. Dan beliau adalah orang tua dari siswa yang menjadi
lulusan terbaik saat itu.
Saat
itu beliau mengatakan bahwa cita-cita haruslah setinggi langit. Tidak peduli
seperti apa kondisimu, apa pekerjaan ayahmu, dan bagaimana kamu saat ini.
Meskipun mungkin saat ini kondisi keluargamu dalam kondisi yang terpuruk secara
ekonomi ataupun yang lainnya, namun cita-citamu tidak boleh terpuruk juga.
Setidaknya kamulah seharusnya yang menjadi agen perubahan bagi kondisi
keluargamu. Apabila ayahmu adalah seorang petani, guru, atau apapun profesinya
maka kamu harus bisa lebih dari dia. Dalam pendidikan pun kalian harus
mempunyai cita-cita yang tinggi. Belajarlah setinggi-tingginya, dimana ada
kemauan disana pasti ada jalan. Kurang lebih seperti itulah isi pesan dalam
sambutannya, dan orang itu adalah ayahku sendiri.
Sejak
saat itu saya selalu bermimpi setinggi langit dan selalu bersemangat untuk
mencapainya. Saya percaya bahwa mimpi mempunyai kekuatan tersendiri bagi siapa
pun yang memegang dan mempercayainya. Saya pikir sudah banyak bukti bagaimana
kekuatan mimpi itu berbicara. Dan kondisi apapun yang dialami oleh seseorang
tidak akan menghalanginya untuk meraih mimpi. Baru-baru ini kita pasti dengar
bagaimana kisah seorang Raeni. Anak seorang tukang becak yang lulus dengan
predikat cum laude terbaik dan nyaris
sempurna, yakni 3,96. Bahkan dia pun memperoleh peluang untuk mendapatkan
beasiswa dari president untuk melanjutkan studinya ke inggris seperti yang di
inginkannya. Kisah Raeni hanyalah satu dari ribuan bahkan jutaan kisah-kisah
orang yang mempunyai keterbatasan secara ekonomi namun dapat mewujudkan
mimpinya menjadi kenyataan. Saya harap akan muncul bukti-bukti lainnya,
termasuk saya dan anda yang membaca tulisan ini.amien..