Saya yakin di antara kita pasti ingin
selalu menjadi yang terbaik. Terbaik dalam berbagai hal, dimana salah satunya adalah
menjadi terbaik dalam hal-hal yang saat ini sedang kita jalani. Untuk
menjadikan diri kita terbaik, terkadang kita harus berkompetisi, bersaing,
sikut kanan, sikut kiri, dan bahkan tidak sedikit pula yang memilih jalan
pintas untuk meraihnya.
Ehm..keras..?? pasti..
Kejam..??memang..
Namun pertanyaannya, haruskah
demikian?
Selama ini kita seolah-olah sudah di
setting untuk selalu bersaing dan berkompetisi, makanya ada peringkat satu,
dua, tiga dan seterusnya. Ada yang kalah dan ada menang, ada yang lanjut dan
ada yang tersingkirkan, ada yang tersenyum dan ada yang menangis. Sebuah sistem
yang mengajarkan kepada kita seolah-olah hidup hanyalah sebuah persaingan. Siapa
yang kuat dia akan menang dan siapa yang lemah akan tersisihkan, seperti halnya
hukum seleksi alamnya Darwin.
Tidak hanya itu, sepanjang kehidupan
kita pun selalu diwarnai dengan persaiangan. Awal mula kita pun berangkat dari
sebuah persaingan. dari Ayah kita yang memenangkan persaingan dari beribu-ribu
lelaki yang akhirnya di pilih oleh seoarng perempuan yang akhirnya menjadi ibu
kita. kemudian kita pun terlahir dari sebuah persaiangan dengan berjuta-juta
sel sperma yang akan membuahi satu sel telur yang kemudian melahirkan diri
kita. tidak cukup disitu saja, ketika beranjak dewasa pun kita harus bersaing
untuk mendapatkan satu kursi di bangku sekolah dan kuliah di tempat yang kita
inginkan. Dan ketika kita sudah besar pun kita harus bersaing dengan beberapa
kompetitor untuk menduduki sebuah pekerjaan atau jabatan.
Lalu benarkah hidup ini adalah sebuah
persaingan?
Jawabannya sudah pasti TIDAK..karena
hidup tidak hanya tentang persaingan, dan hidup bukan hanya soal kalah dan
menang. Melainkan hidup adalah sebuah proses, proses untuk senantiasa belajar.
Bahkan ketika kita menang pun sebenarnya kita sedang belajar untuk tidak
sombong dan ketika kalah kita sedang belajar untuk menerima dan bersabar. apabila
hidup hanyalah sebuah persaingan maka hidup ini akan terasa sangat sempit dan
penuh beban. Namun anehnya justru selama ini kita selalu terjebak oleh sistem
dan pola pikir kita sendiri. Sehingga yang seharusnya bukanlah membuat diri
kita menjadi yang terbaik melainkan cukup melakukan yang terbaik. INGAT..yang
terpenting bukan soal menjadi yang terbaik, tapi lakukanlah yang terbaik.
Memangnya beda ya?
Ya..sudah pasti berbeda. Apabila kita
hanya ingin menjadi yang terbaik maka pada dasarnya kita hanya berorientasi pada
hasil tampa memperdulikan sebuah proses. Kita hanya berfokus untuk menjadi NO.1
tampa mempedulikan bagaimana, dan apa yang seharusnya saya lakukan, sehingga
tidak sedikit pula di antara kita yang justru melupakan nilai-nilai sportivitas
dan memilih jalan pintas. Namun ketika kita berusaha melakukan yang terbaik
maka kita akan lebih mencintai sebuah proses dan menganggap hasil yang di
dapatkan sebagai sebuah hadiah dari sebuah proses yang manis.
Ada sebuah kisah yang mungkin dapat
menggambarkan penjelasan di atas.
Pada suatu hari di sebuah kota sedang
diadakan sebuah perlombaan balap mobil-mobilan. Lomba tersebut di ikuti oleh
beberapa peserta. Berbagai mobil-mobilan bermerek dan berkelas pun siap
memeriahkan perlombaan tersebut. Namun diantara mobil-mobilan tersebut ada satu
mobil yang menyita perhatian penonton yang hadir. Ya..itu adalah mobil seorang
anak kecil bernama Dika. Dia menjadi sorotan bukan karena mobilnya
mewah,melainkan mobilnya yang terkesan kuno dan lemah. Sadar akan hal tersebut
dika tidak pernah berpikir untuk menjadi juara, melainkan ia hanya berpikir
tentang apa yang bisa dilakukannya dengan mobil sederhananya untuk dapat
melakukan yang terbaik.
Ketika perlombaan akan dilangsungkan,
peserta pun diberikan waktu untuk mempersiapkan mobilnya masing-masing. Terlihat
beberapa peserta dengan serius mempersiapkan mobilnya untuk meraih juara,
bahkan ada beberapa peserta yang memilih jalan pintas dengan memasang mesin
dengan kekuatan yang tidak sesuai seharusnya. Ketika pesaing yang lainnya
berpikir keras tentang cara untuk meraih no.1, dika hanya mempersiapkan
mobilnya dengan apa yang dimilikinya saat itu.
Perlombaan pun dimulai, semua mobil
sudah bersiap di garis start. Semua orang pun berteriak pesimis terhadap mobil
dika. Terlihat dika pun terpejam matanya seraya mulutnya berkomat-kamit seperti
membaca mantra. Priiiit...peluit tanda start pun di tiupkan. Semua mobil pun
melaju dengan kencangnya. Terlihat mobil dika berada di urutan yang paling
terakhir. Lap demi lap pun berlalu dan mobil dika pun masih belum beranjak dari
posisi buncitnya. Sorak pesimis penonton pun mulai bertambah kencang. Namun
keajaiban pun terlihat ketika memasuki lap-lap berikutnya. Ketika mobil-mobil
yang lain mulai turun kecepatannya karena mesinnya mulai panas dan baterai yang
terkuras dengan tenaga yang besar, mobil dika tetap berjalan dengan stabil.
Sedikit demi sedikit pun posisinya mulai merangsek ke depan. Hingga puncaknya
mobilnya pun berada di posisi terdepan dan berhasil finish pada posisi no.1.
semua penontonpun seketika terdiam dan terheran-heran.
Hingga akhirnya pada penyerahan
hadiah, dika diberikan kesempatan untuk berbicara dan diwawancara oleh si
pembawa acara. Apa kunci sukses anda sehingga anda dapat berhasil finish di
posisi pertama dengan mobil yang sederhana ini? Apakah karena do’a atau mantra
anda? Jawabannya: tidak, rasanya tidak adil apabila saya meminta kepada tuhan
untuk mengalahkan lawan-lawan saya. Saya hanya berdo’a kepada tuhan agar
diberikan kelapangan dada dan dapat menerima keadaan apabila kalah nanti. Dan
saya pun hanya berusaha untuk melakukan yang terbaik tampa mempedulikan hasil
akhir yang saya dapatkan. Itulah kuncinya..katanya seraya tersenyum dan
diiringi riuh tepuk tangan penonton.
TERIMA KASIH..
SEMOGA BERMANFAAT...